SUSI SUSANTI
Pendapat, Bukan untuk Memusuhi
Susi Susanti adalah kekasih bangsa dari arena bulu tangkis, darling of the court, lewat kiprahnya. Empat kali juara All England, dua kali ikut memenangi Piala Uber, emas perdana Olimpiade 1992. Bersama rekan- rekannya sesama mantan pebulu tangkis, dia menegaskan, lewat petisi, mereka ingin menyampaikan pendapat, bukan memusuhi PB PBSI. Sebagai bagian dari bulu tangkis Indonesia yang tak jarang mendapat giliran dihujani kritik, Susi menilai, teguran adalah sebuah tanda perhatian yang besar.
Masalah ini terkait soal teknis atau nonteknis?
Apa yang terjadi di dalam, saya mendengar dari luar. Sepertinya, manajemennya ada tumpang tindih. Baru kali ini ada pemain utama di dalam pelatnas dan ada yang di luar. PBSI sebagai wadah seyogianya bisa me-manage. Kalau manajer tidak bisa mengatur, bagaimana bisa berhasil. Pengalaman saya dulu, tiga-empat tahun sebelum olimpiade sudah direncanakan, siapa saja yang ditargetkan ikut, ditetapkan turnamen yang akan diikuti. Setelah dua tahun kelihatan poinnya. Setahun sebelum olimpiade, sudah terlihat siapa yang bisa berangkat, tinggal mematangkan.
Sekarang yang terjadi, belum ketahuan siapa yang berangkat, padahal tinggal dua bulan lagi. Ini sistem yang tidak bagus. Pemain pun bingung, saya berangkat atau tidak. Semestinya satu tahun di muka sudah tahu. Rencana dibuat dari diskusi pemain, pelatih, bidang pembinaan. Faktanya, banyak yang dibatalkan.
Kinerja pengurus memengaruhi prestasi pemain?
Pasti. Pemain dan pelatih adalah satu kesatuan untuk latihan. Di luar itu, seperti menciptakan suasana kondusif, membuat rencana, harus ada komunikasi antara pelatih dan pengurus. Di lapangan, pemain harus dibuat tidak merasa sendiri. Didorong bahwa mereka bisa. Pada saat mereka melihat kita, itu harus jadi kekuatan. Hal-hal seperti itu bisa terjadi kalau suasananya bagus dan tidak dalam jangka waktu yang pendek. Apalagi sekarang ada pemain pelatnas dan ada yang di luar. Itu jadi tantangan.
Apa bentuk tantangannya?
Kalau ada yang menyebut tidak kompak, tidak salah juga karena yang pemain ada di luar pelatnas sepertinya tidak dirangkul. Padahal, yang di luar juga punya rencana. Ada solusi untuk masalah ini. PBSI berperan sebagai orangtua, ”Kamu sudah ada janji, tetapi ini ada yang lebih penting, yaitu untuk kepentingan negara.” Kalau pemain itu seharusnya menerima bayaran dari kegiatannya yang terpaksa batal, PBSI mungkin bisa menggantinya.
Ada solusi kalau duduk bersama. Orangtua, kan, tidak boleh pilih kasih terhadap anak-anaknya. Pengurus mengayomi karena pemain itu manusia biasa. Saya pernah mengalami, ketika sudah juara, sudah puas. Ketika ini terjadi, ada yang terus memberi nasihat, bimbingan, dan tahu cara pendekatannya. Saya sedih dengan adanya pemain yang di luar pelatnas dan di dalam. Ini sama artinya dengan tercerai-berai. Apalagi, makin banyak yang pindah dan membela negara lain. Kalau sudah seperti ini, yang rugi siapa? Indonesia
#kompas.com
Masalah ini terkait soal teknis atau nonteknis?
Apa yang terjadi di dalam, saya mendengar dari luar. Sepertinya, manajemennya ada tumpang tindih. Baru kali ini ada pemain utama di dalam pelatnas dan ada yang di luar. PBSI sebagai wadah seyogianya bisa me-manage. Kalau manajer tidak bisa mengatur, bagaimana bisa berhasil. Pengalaman saya dulu, tiga-empat tahun sebelum olimpiade sudah direncanakan, siapa saja yang ditargetkan ikut, ditetapkan turnamen yang akan diikuti. Setelah dua tahun kelihatan poinnya. Setahun sebelum olimpiade, sudah terlihat siapa yang bisa berangkat, tinggal mematangkan.
Sekarang yang terjadi, belum ketahuan siapa yang berangkat, padahal tinggal dua bulan lagi. Ini sistem yang tidak bagus. Pemain pun bingung, saya berangkat atau tidak. Semestinya satu tahun di muka sudah tahu. Rencana dibuat dari diskusi pemain, pelatih, bidang pembinaan. Faktanya, banyak yang dibatalkan.
Kinerja pengurus memengaruhi prestasi pemain?
Pasti. Pemain dan pelatih adalah satu kesatuan untuk latihan. Di luar itu, seperti menciptakan suasana kondusif, membuat rencana, harus ada komunikasi antara pelatih dan pengurus. Di lapangan, pemain harus dibuat tidak merasa sendiri. Didorong bahwa mereka bisa. Pada saat mereka melihat kita, itu harus jadi kekuatan. Hal-hal seperti itu bisa terjadi kalau suasananya bagus dan tidak dalam jangka waktu yang pendek. Apalagi sekarang ada pemain pelatnas dan ada yang di luar. Itu jadi tantangan.
Apa bentuk tantangannya?
Kalau ada yang menyebut tidak kompak, tidak salah juga karena yang pemain ada di luar pelatnas sepertinya tidak dirangkul. Padahal, yang di luar juga punya rencana. Ada solusi untuk masalah ini. PBSI berperan sebagai orangtua, ”Kamu sudah ada janji, tetapi ini ada yang lebih penting, yaitu untuk kepentingan negara.” Kalau pemain itu seharusnya menerima bayaran dari kegiatannya yang terpaksa batal, PBSI mungkin bisa menggantinya.
Ada solusi kalau duduk bersama. Orangtua, kan, tidak boleh pilih kasih terhadap anak-anaknya. Pengurus mengayomi karena pemain itu manusia biasa. Saya pernah mengalami, ketika sudah juara, sudah puas. Ketika ini terjadi, ada yang terus memberi nasihat, bimbingan, dan tahu cara pendekatannya. Saya sedih dengan adanya pemain yang di luar pelatnas dan di dalam. Ini sama artinya dengan tercerai-berai. Apalagi, makin banyak yang pindah dan membela negara lain. Kalau sudah seperti ini, yang rugi siapa? Indonesia
#kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar